Jumat, 23 Oktober 2015

Reog merupakan bentuk teater yang dilakukan oleh sekelompok drama tari dengan berbagai karakter pelaku, sebuah kesenian tradisional khas daerah Ponorogo Jawa Timur. Yang sekarang berkembang ke seluruh Indonesia bahkan sampai ke manca negara. Latar belakang sejarah reog pada dasarnya sama dengan latar belakang sejarah munculnya berbagai keseniaan di Jawa pada umumnya yaitu muncul sebagai salah satu bentuk upacara kepercayaan pada kekuatan gaib setempat. Seiring perubahan waktu bentuk dan unsur upacara tersebut berubah menjadi satu bentuk hiburan atau kesenian  rakyat yang berkembang lebih baik sesuai perkembangan jaman.

            Dimulai abad ke-14 sebagai sarana untuk memperingati peristiwa kapahlawanan atau ketokohan, salanjutnya pada abad ke-15 sudah berkembang menjadi suatu bentuk kelompok-kelompok tradisi yang berguna untuk hiburan masyarakat yang memang pada saat itu para pembesar pemerintahan juga menganjurkan adanya budaya reog tersebut, sejak itu pula nama “ponorogo” ada yaitu nama yang diberikan oleh kerajaan Wengker yang saat itu sedang masuk kedalam ajaran islam dengan seorang raja bergelar Wijayarasa. Maka ditandai pada paruh kepala meraknya membawa mutiara yang melambangkan biji tasbih. Sedang ide bentuk Reog tergsebut  diduga pada jaman itu terinspirasi dari bentuk sebuah patung di gugusan pura balahan yang berdiri jaman kekuasaaan Air Langga dari Kahuripan dekat  gunung penanggungan, yaitu patung Dewa Wisnu di atas garuda yang berburu menyebar.
            Kemudian lain hal tentang cerita legenda dari drama tari reog ini sementara ada dua pendapat yang berkembang, yaitu versi Songgolangit dan Suryongalam. Versi Songgolangit ini yang banyak ditampilkan dan berkembang menceritakan kisah Sang Prabu Klono Suwandono dari Kerajaan Bantara Angin yang ingin mempersunting Putri Kediri Dewi Songgolangit, tetapi dengan berbagai Bebono atau persyaratan yaitu akhirnya menjadi bentuk kelompok reog itu yang maksut sebenarnya sang putri ingin menolak lamaran tersebut. Di sini terdapat kisah percintaan juga peperangan dalam bentuk adu kesaktian.
            Sementara versi Suryongalam mengarah pada cerita Demang Suryangalam yang merupakan daerah bawahan kerajaan Majapahit ingin menyindir atau Satir Raja Majapahit yang konon lebih banyak dikendalikan oleh sang permaisuri, sehingga digambarkan dengan Harimau sang raja hutan yang ditunggangi oleh burung merak yang lembut.
           
Tokoh utana Reog adalah Singo Barong, yang berbentuk kepala harimau sebagai topeng yang besar dengan tatanan bulu merak yang mengembang lebar sebagai mahkota atau disebut Dhadhak Merak . Penari atau pembawa Singo Barong adalah orang yang kuat dan mengerti tehnik menggerakkannya karena beratnya antara 40-60 kg itu harus digigit dengan gigi saja. Kemudian tokoh lain adalah Pujangga Anom atau disebut “Bujangganong” , pelaku ini memakai topeng lucu seram, muka warna merah dan mata melotot dengan rambut gimbal serta hidung nongol panjang yang khas dengan gerak tariannya yang selalu lincah dan akrobatik. Klono Suwandono adalah tokoh seorang raja yang berperan dan penampilan gagah berwibawa, jarang melakukan gerak tari hanya waktu perang, juga memakai topeng yang berciri khas satria dan berani. Selanjutnya kelompok Jathilan, Sejumlah (biasanya empat orang) laki-laki atau perempuan yang berpenampilan satria atau feminim atau Medo’i, dengan menunggang kuda replika dari Kepang atau anyaman bambu, dengan gerak tari yang kompak bersama irama kendhing. Warok atau Warokan di sini biasanya peran sebagai pembina dan sesepuh dari kelompok reog itu, diperankan oleh beberapa laki-laki yang biasannya bertubuh keker dangan brewok dengan kumis dan jenggotnya lebat bertutup kepala blangkon khas ponorogo tanpa topeng, celana hitam lebar dibalut jarik batik gelap dengan ikat pinggang lebar besar serta tidak ketinggalan adalah kolor berupa tali tambang putih diletakkan di sabuk bagian depan menjuntai ke bawah yang dipercaya sebagai senjata andalan. Gerak tariannya berat dan cenderung bersama-sama.
          Tidak ada reog tanpa gamelan khas, ini dilakukan oleh para pengrawit yang terdiri dari penabuh gendang dan ketipung. Peniup trompet, trompet terbuat dari kayu dengan suara yang khas. Kemudian penabuh Kethuk dan Kenong, beberapa orang pembawa dan penabuh Gong dan Kempul  serta dua orang pembawa angklung bambu. Yang menjadi khas tabuhan atau gendingan reog ini adalah bentuk tabuhan irama yang berlainan antara kethuk kenong dan gong berirama slendro, dengan trompet kayu yang berirama pelok. Maka bisa menghasilkan irama musik yang terkesan megis dan membakar semangat serta menggairahkan.